PROSPEK PENYELESAIAN PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT PERISTIWA 1965-1966 PASKA PUTUSAN INTERNATIONAL PEOPLE’S TRIBUNAL 1965[1]

Oleh : Manunggal K. Wardaya

Download PDF

 

  1. Pendahuluan

Pada akhir Juli 2016, International People’s Tribunal 1965 (selanjutnya IPT 65) yang berkedudukan di Den Haag menyatakan pemerintah Indonesia bersalah atas serangkaian kejahatan terhadap kemanusiaan dan genosida yang terjadi dalam peristiwa 1965-1966.[2] Dinyatakan  oleh IPT 65 bahwa pemerintah Indonesia bertangung jawab atas serangkaian pelanggaran HAM berat yang terjadi antaranya pembunuhan, pemerkosaan, penghilangan paksa, dan perbudakan terhadap mereka yang dianggap anggota maupun simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI). Untuk itu IPT 65 meminta Pemerintah Indonesia untuk meminta maaf kepada para korban maupun dan keluarganya. Tidak hanya itu, IPT 65 pula meminta Pemerintah Indonesia untuk membawa  mereka yang bertanggung jawab ke Pengadilan.

  1. Permasalahan

Menjadi pertanyaan yang mengemuka kemudian adalah bagaimana prospek penyelesaian Peristiwa 1965-1966 ini setelah putusan IPT 1965-1966. Adakah harapan bahwa putusan IPT tersebut akan membuat pemerintah Indonesia mau menyelesaikan persoalan yang membelit bangsa ini hingga tuntas? Adakah peluang untuk menyelesaikan secara hukum dan non hukum? Tulisan ini adalah bahasan singkat mengenai persoalan pelik yang terus menghambat demokratisasi di Indonesia ini.

  1. Pembahasan

Putusan IPT 65 merupakan perkembangan baru dalam diskursus penyelesaian Peristiwa 1965-1966. Setelah sebelumnya hanya berada dalam arasnya yang domestic, IPT 65 telah membuat  Peristiwa 1965-1966 menjadi perhatian dunia internasional. Peradilan Rakyat yang diinisiasi masyarakat sipil dari berbagai negara tersebut dimaksudkan  untuk menekan pemerintah Indonesia agar menyelesaikan persoalan kemanusiaan yang hingga tulisan ini dibuat belum terselesaikan bahkan lewat limapuluh tahun sejak terjadinya di pertengahan 1960-an. IPT 65 memang bukan organ konstitusional kerajaan Belanda walaupun berkedudukan di Belanda.  IPT 65 juga bukan organ internasional, akan tetapi dengan kredibilitas yang dimilikinya IPT mempu membuat publik internasional menoleh pada kasus yang sebelumnya tak dikenal luas oleh dunia ini.

Telah sejak awalnya pemerintah Indonesia enggan mengakui keberadaan maupun mengapresiasi IPT 65. Dikatakan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Luhut Pandjaitan bahwa IPT diorganisir oleh ‘mereka yang kurang pekerjaan’.[3] Suara lain lagi menuding IPT 65 sebagai bentuk intervensi asing terhadap kedaulatan Republik Indonesia. Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang merupakan salah satu tokoh politik terkemuka mengatakan bahwa IPT 65 adalah peradilan dagelan. Tidak mengherankan ketika putusan IPT dibacakan reaksi pemerintah Indonesia terkesan dingin dan tak mengacuhkan. Paradigma formal-legalistik lebih mendominasi pandangan pemerintah Indonesia dalam mensikapi IPT 65 dan putusannya. IPT 65 tidak dipandang sebagai suatu entitas yang harus diperhatikan dikarenakan status hukumnya yang bukanlah international organization.

Sikap dan  pandangan Pemerintah Indonesia sebagaimana terungkap di atas dapat dimengerti. Sebagaimana telah disinggung dimuka,  IPT 65 memang bukan organ negara, apalagi organ lembaga internasional seperti PBB. Alih-alih demikian, IPT adalah prakarsa masyarakat sipil internasional yang menginginkan tercapainya keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu. Ia diinisiasi oleh mereka yang peduli pada nasib para korban, karena sekian lama tak diselesaikan. Sebagai konsekwensinya, putusan IPT 65 memanglah tak akan mengikat secara hukum terhadap pemerintah Indonesia. Ia hanyalah putusan yang mempunyai daya dorong moral untuk diperhatikan oleh negara.

Patut diingat bahwa meskipun berada di ranah civil society, putusan IPT 65 bukan berarti bisa diabaikan begitu saja oleh negara. Hal ini karena IPT 65 memiliki dasar moral yang amat kuat karena apa yang menjadi putusan IPT sebenarnyalah hal-hal normative yang seharusnya dilakukan Pemerintah Indonesia sebagai pemerintahan yang mengklaim menjunjung tingi hak asasi manusia. Putusan IPT 65 bahkan bukanlah hal yang baru dalam penyelesaian kasus Peristiwa 1965. Sebelumnya, lembaga resmi negara yakni Komisi Nasional Hak ASasi Manusia (Komnas HAM) telah mengeluarkan laporan atas hasil penyelidikan awal yang dilakukannya.[4] Dalam laporannya di tahun 2012 ditegaskan oleh Komnas HAM bahwa telah terjadi serangkaian kejahatan HAM berupa kejahatan terhadap kemanusiaan (Crimes against humanity). Berpijak dari itu, sikap reaktif pemerintah Indonesia mestinya tidak perlu terjadi. IPT 65 mestinya dipandang sebagai bentuk kritik yang membangun terhadap Pemerintah Indonesia yang berasal dari masyarakat  internasional.

Hasil IPT sendiri dikatakan akan dibawa ke PBB. Namun apakah putusan IPT tersebut akan dapat menimbulkan perubahan dan menekan pemerintah Indonesia secara politik untuk menyelesaikan persoalan pelanggaran HAM masa lalu ini belumlah bisa dipastikan. Indonesia bukanlah negara peserta Protokol Tambahan Perjanjian Internasional Hak Sipil dan Politik yang memungkinkan adanya individual complaint. Oleh karenanya, setidaknya hingga tulisan ini dibuat tidak akan mungkin membawa peristiwa ini ke Komisi HAM PBB. Dengan kata lain, penyelesaian kasus ini hanya akan menjadi persoalan domestic bangsa Indonesia. Pemerintah Indonesia harus segera menindaklanjuti rekomendasi hasil penyelidikan Komnas HAM untuk melakukan penyidikan terhadap kasus ini. Penyidikan yang akan membawa pada terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc, hingga tulisan ini disusun, adalah satu-satunya peluang hukum mengingat Indonesia dalam keadaan tidak memiliki Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).[5]

Jika tidak ada perubahan dalam paradigma dalam memandang persoalan ini sebagai persoalan serius bangsa,  keengganan Pemerintah Indonesia akan membuat penyelesaian kasus ini tetap berada di dalam titik kebuntuan. Kasus ini semakin tak terselesaikan dan akan merugikan dan selalu menjadi beban sejarah bangsa Indonesia dalam perjalanannya mengarung kehidupan bernegarai demokrasi.

  1. Penutup

Pada akhirnya Penyelesaian pelanggaran hak asasasi manusia berat Peristiwa 1965-1966 hanya bisa dilakukan dengan kemauan (willingness) Pemerintah Indonesia. Pemerintah Indonesia sebenarnya berkepentingan agar kasus ini lekas diselesaikan, karena  konflik yang terjadi sebagai warisan bencana kemanusiaan ini bisa segera terselesaikan. Hanya dengan penyelesaian kasus ini maka berbagai persoalan HAM yang berlarut-larut bisa diselesaikan. IPT 65 bukanlah badan yang memiliki kewenangan apapun untuk dapat memaksakan putusannya untuk ditaati Pemerintah Indonesia. Kritik dan kinerja IPT 65 mestinya disikapi dengan positif oleh Pemerintah Indonesia sehingga cita bangsa untuk berkehidupan bernegara yang demokratis dan konstitusonal dapat terwujud.

 

Daftar Rujukan

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, ‘Pernyataan Komnas HAM Tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-1966’ (2012) <http://www.komnasham.go.id/sites/default/files/dok-publikasi/EKSEKUTIF SUMMARY PERISTIWA 1965.pdf> accessed 1 August 2016

‘LSM Desak Komisi III Untuk Terus Pertanyakan Soal KKR’ KOMPAS (Jakarta, 2006)

‘Luhut: Penyelenggara IPT 65 Pikirannya Bukan Indonesia Lagi’ (BBC Indonesia, 2015) <http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/11/151111_indonesia_luhut&gt; accessed 2 October 2016

‘Putusan IPT Kasus 1965: “Negara Bersalah Atas 10 Kejahatan Berat”.’ (BBC Indonesia, 2016) <http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/07/160720_indonesia_putusan_ipt1965&gt; accessed 10 August 2016

 

[1] Makalah disampaikan dalam Diskusi Publik “Politik Hukum Paska 1PT 1965” yang diselengarakan oleh Human Rights Law Studies (HRLS) Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya 16 Agustus 2016.

[2] ‘Putusan IPT Kasus 1965: “Negara Bersalah Atas 10 Kejahatan Berat”.’ (BBC Indonesia, 2016) <http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/07/160720_indonesia_putusan_ipt1965&gt; accessed 10 August 2016.

[3] ‘Luhut: Penyelenggara IPT 65 Pikirannya Bukan Indonesia Lagi’ (BBC Indonesia, 2015) <http://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2015/11/151111_indonesia_luhut&gt; accessed 2 October 2016.

[4] Lihat Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, ‘Pernyataan Komnas HAM Tentang Hasil Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat Peristiwa 1965-1966’ (2012) <http://www.komnasham.go.id/sites/default/files/dok-publikasi/EKSEKUTIF SUMMARY PERISTIWA 1965.pdf> accessed 1 August 2016.

[5] Pada 2007 Mahkamah Konstitusi menyatakan UU No 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Lihat ‘LSM Desak Komisi III Untuk Terus Pertanyakan Soal KKR’ KOMPAS (Jakarta, 2006).