Tag Archive: komisi yudisial


Tulisan dimuat dalam buku KORUPSI DAN INTEGRITAS DALAM RAGAM PERSPEKTIF, diterbitkan oleh Fakultas Bahasa dan Adab  UIN Jakarta

  Download PDF 

Hakim adalah sebuah profesi yang terhormat lagi mulia. Seorang hakim memiliki kewenangan untuk memberi kata putus yang mengikat guna mengakhiri suatu sengketa yang dihadapkan padanya. Ia mendengarkan kesaksian, memeriksa bukti-bukti, dan menilai kredibilitas informasi yang disampaikan para pihak untuk kemudian menjatuhkan putusan. Betapapun tajam argumentasi seorang advokat maupun pakar hukum dalam memandang suatu kasus, hakimlah yang pada akhirnya akan memutuskan penyelesaian suatu sengketa. Putusan hakim adalah pula hukum.

Menjadi seorang hakim, orang dipersyaratkan memiliki kecakapan mendalam di bidang hukum, kearifan dalam falsafah keadilan, dan ketabahan atas segala godaan dan pressure yang bisa memengaruhi independensi diri maupun institusinya. Sebutan yang ditujukan padanya di berbagai negara menunjukkan betapa luhur dan mulianya profesi ini. Di Malaysia ia disebut sebagai “Tuan”. Di Australia dan banyak negara bagian di Amerika, di depan nama seorang hakim disematkan “Your Honour” dan bahkan “Justice” jika seorang menjadi hakim mahkamah agung (supreme court).

Nature dari profesi penentu ini meniscayakan kapasitas ilmu yang tinggi lagi luas. Amat sangat dapat dimengerti karena apa yang diputuskan seorang hakim bersangkut paut dengan berbagai aspek kehidupan dalam masyarakat yang berdampak pada hak dan kewajiban, harkat dan martabat dan bahkan hidup mati seseorang dan atau bahkan banyak orang. Tak saja diidealkan memiliki integritas, berpengalaman di bidang hukum, berkepribadian yang tidak tercela, jujur, adil, profesional, hakim di Indonesia bahkan memikul tanggung jawab vertikal yang maha berat. Ia ditempatkan sebagai wakil Tuhan dalam menegakkan keadilan atas suatu sengketa. Bunyi Pasal 2 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan bahwa peradilan dilakukan “Demi Keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa menunjukkan betapa di negara ini sebuah putusan pengadilan tidak saja harus dapat dipertanggungjawabkan secara rasio, namun mestilah harmonis dengan keadilan dari Sang Pencipta. Continue reading

Dimuat dalam Jurnal Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Janabadra, Yogyakarta, edisi Oktober 2010
Oleh:

Manunggal K. Wardaya, S.H., LL.M.

Judicial Commission is a state-auxiliary agency, established under the 3rd amendment of the 1945 Constitution. Not part of the judicial power, the main aim of this institution is to be functionalized as a watchdog of the judges and not of the judicial branch. This paper believes that judicial commission as well as other state-auxiliary agencies, however important they might be, should not be regulated in the basic law. Not only because it reflects constitutional paranoid of eternal judicial corruption, but also because it will contradict with the ideal form of a written constitution that should only regulate main organs of the state. The inclusion of a supporting or even a temporary organ in a constitution this paper believes, will causes (unnecessary) future difficulties and problems on the amendment of constitution once it is felt unnecessary anymore.

Keywords: Constitution, Judicial Commission.

A. PENDAHULUAN

Salah satu hasil perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah diintroduksinya lembaga baru bernama Komisi Yudisial (selanjutnya disebut KY)[1]. Komisi ini adalah lembaga negara yang merdeka, dalam arti tidak merupakan anak dari kekuasaan negara yang lain, serta memiliki fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim. Sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 B UUD 1945, Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sebagai undang-undang organik dari Pasal 24 B UUD 1945 tersebut dikeluarkanlah UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Continue reading