Category: Jurnal


Artikel dimuat dalam Jurnal Dinamika Hukum,  2011

Oleh :

Manunggal K. Wardaya & Ahmad Komari

manunggal.wardaya@gmail.com & ahmad.komari25@yahoo.com

download PDF di sini

Abstrak

Perkembangan di dalam bidang teknologi informasi tak pelak menimbulkan berbagai perubahan dalam segenap aspek kehidupan umat manusia termasuk dalam media. Berbagai definisi masa lalu mengalami perubahan signifikan dan tak lagi bisa dipertahankan. Keterlibatan audiens dalam media berita (news media) melahirkan fenomena baru dalam jurnalistik, apa yang terbilang sebagai jurnalisme warga (citizen journalism). Undang-undang Pers sebagai regulasi utama bidang media berita dengan sendirinya tercabar relevansinya dalam menyesuaikan diri dengan perubahan jaman. Artikel ini meyakini bahwa perubahan Undang-undang Pers mutlak dilakukan agar lebih responsif dengan perubahan yang terus terjadi dalam masyarakat.

Kata kunci: teknologi informasi, media, pers, jurnalisme warga

Abstract

The development in information technology influences many aspects of human life including news media. Various definitions in media have encountered significant changes and cannot anymore be used. Press Law as a main regulation of news media Indonesia is no exception. Its relevancy is now being questioned and even challenged when it fails to adopt with the changes in society. This article believes that the amendment of Press Law should be done so that it will be responsive towards the need of the constantly-changing society.

Keywords: information technology, media, press, citizen journalism

Continue reading

Dimuat dalam Jurnal Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Janabadra, Yogyakarta, edisi Oktober 2010
Oleh:

Manunggal K. Wardaya, S.H., LL.M.

Judicial Commission is a state-auxiliary agency, established under the 3rd amendment of the 1945 Constitution. Not part of the judicial power, the main aim of this institution is to be functionalized as a watchdog of the judges and not of the judicial branch. This paper believes that judicial commission as well as other state-auxiliary agencies, however important they might be, should not be regulated in the basic law. Not only because it reflects constitutional paranoid of eternal judicial corruption, but also because it will contradict with the ideal form of a written constitution that should only regulate main organs of the state. The inclusion of a supporting or even a temporary organ in a constitution this paper believes, will causes (unnecessary) future difficulties and problems on the amendment of constitution once it is felt unnecessary anymore.

Keywords: Constitution, Judicial Commission.

A. PENDAHULUAN

Salah satu hasil perubahan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) adalah diintroduksinya lembaga baru bernama Komisi Yudisial (selanjutnya disebut KY)[1]. Komisi ini adalah lembaga negara yang merdeka, dalam arti tidak merupakan anak dari kekuasaan negara yang lain, serta memiliki fungsi pengawasan terhadap perilaku hakim. Sebagaimana dinyatakan oleh Pasal 24 B UUD 1945, Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Sebagai undang-undang organik dari Pasal 24 B UUD 1945 tersebut dikeluarkanlah UU Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial. Continue reading

Artikel ini pernah dimuat dalam Jurnal Voice of Constitution and Human Rights Vol.2 No.2 Februari 2009 hal. 199-208, Lembaga Penelitian Universitas Sebelas Maret Surakarta, 2005

By: Manunggal Kusuma Wardaya

Abstrak

Perkawinan, kendati dianggap sebagai hal yang natural dan diamanatkan oleh kode moral, telah menjadi suatu peristiwa hukum, yang oleh karenanya kini lebih menjadi artifisial sifatnya. Tak seperti di Australia misalnya, sahnya perkawinan di Indonesia  antara lain ditentukan apabila ia telah memuaskan persyaratan yang ditentukan oleh agama. Tulisan ini hendak mebandingkan hukum perkawinan antara dua sistem hukum yang berbeda. Diharapkan dengan analisa perbandingan,  tulisan ini mampu memberi masukan terhadap pembaharuan hukum perkawinan, terkhusus hukum perkawinan Indonesia.

 

  1. A.    Introduction

It is generally said that the main purpose of marriage is the procreation of children and for that reason, sexual relations are permitted only between spouses.[i] The law sees cohabitation and the sharing of lives and a home as the essence of marriage and recognizes rights and duties arising from the cohabitation, for example the right to intercourse and the duty to maintain. None of such rights and responsibilities belong to the unmarried or those who live together outside marriage.[ii] Continue reading

Artikel ini dimuat di Jurnal Konstitusi  Volume 7 Nomor 2, April 2010.

Manunggal K. Wardaya, S.H., LL.M.

Pendahuluan

Kekuasaan harus dibatasi agar tidak menyimpang. Aksioma ini begitu dikenal sesiapa saja yang  menekuni hal ihwal kekuasaan dan politik. Dalam konteks kekuasaan penyelenggara negara, konstitusi yang pada hakekatnya merupakan suatu kontrak itu mendefinisikan batas kewenangan politik penyelenggaraa negara dan hak-hak kebebasan warga masyarakat sipil.[1] Kekuasaan yang dibatasi tak saja terletak pada cabang eksekutif belaka, namun pula meliputi segala bidang kekuasaan negara lainnya baik legislatif, yudisial, dan tak terkecuali state auxiliary agencies. Pengalaman bernegara Indonesia di bawah rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno (1959-1966) dan Orde Baru Soeharto (1966-1998) menunjukkan begitu dominannya lembaga kepresidenan dalam perikehidupan bernegara. Tidak ada yang lepas dari kendali presiden, termasuk lembaga yang seharusnya mengawasinya yakni Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan bahkan lembaga yudisial sekalipun.[2] Continue reading

Artikel dalam Artidjo Alkostar, ed., Mengurai Kompleksitas Hak Asasi Manusia, Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII, Yogyakarta (2006). Artikel ini ditulis sebelum dibatalkannya UU KKR oleh Mahkamah Konstitusi.

Manunggal K. Wardaya

a.. PENDAHULUAN
Reformasi dengan terus dilakukannya pembenahan di bidang hukum serta
dijalankannya pemberantasan
KKN dirasa masih belum maksimal dengan belum dijalankannya salah satu agenda
penting, yakni
penyelesaian secara menyeluruh berbagai kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia
(HAM) masa lalu.
Berbagai kasus seperti extrajudicial killings dan arbitrary detention menyusul
peristiwa 1965 hingga
kini masih belum menentukan titik terang, atau bahkan ditelantarkan. Demikian
juga dengan berbagai
penculikan dan penghilangan paksa sejumlah aktivis, Tragedi Trisakti (Mei 1998),
Tragedi Semanggi I
(November 1998) dan II (November 1999) adalah sejumlah kecil saja gross
violation of human rights
masa lalu yang masih belum terselesaikan hingga kini. Padahal, penyelesaian
secara tuntas masalah
pelanggaran HAM masa lalu amat penting untuk segera dilakukan, mengingat momen
peralihan yang kini
sedang dijalani diyakini sebagai momen yang paling tepat untuk melakukan
perhitungan. Continue reading

Dimuat dalam Jurnal FORUM HUKUM Fakultas Hukum Universitas Janabadra, Yogyakarta, Volume 11, No. 2, Juli 2007

Abstract 

Unlike some other countries previously faced similar problems in the rising of democracy, Indonesia has failed to utilize the precious moment of transition to reveal the truth of past human rights violations. However, although the moment has gone and the Truth and Reconciliation Act has been annulled by the Constitutional Court, still the truth should be revealed and justice should be given to the victims. One feasible solution to deal with past human rights abuses is by establishing an ad hoc tribunal under Human Rights Court Law. The dilemma with such approach is that it would unlikely satisfying the victim especially if it is carried out in procedural and conventional manners.

 Pendahuluan

Salah satu agenda reformasi yang belum juga terwujud hingga satu dasawarsa reformasi adalah pemberian keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Alih-alih mendapat keadilan serta mendapat kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, para korban berbagai kasus yang diindikasikan sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu seperti extrajudicial killings menyusul peristiwa 19652 terkesan ditelantarkan.3 Berbagai penculikan dan penghilangan paksa yang menimpa sejumlah aktivis4, kerusuhan yang diwarnai dengan pembakaran, penjarahan, dan pemerkosaan di Jakarta dan Solo pada Mei 1998 , serta kasus Talangsari 1989 adalah sejumlah kecil saja kasus yang diduga sebagai gross violation of human rights masa lalu yang belum terungkap siapa yang bertanggungjawab. Padahal pengungkapan pihak yang bersalah dan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu di masa peralihan menuju demokrasi amat penting dilakukan untuk mencegah impunitas sekaligus pengingat agar peristiwa serupa tak lagi terjadi dalam demokrasi yang mulai dibangun. Continue reading

Dimuat dalam Jurnal PENEGAKAN HUKUM, Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, BANDUNG, 2008

PERLINDUNGAN TERHADAP ANAK YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA ( Studi  Tentang Penyelesaian secara Non-Litigasi dalam perkara Tindak Pidana Anak di Kabupaten Banyumas, Purbalingga, Banjarnegara, Kebumen dan Cilacap )

Oleh : Dwi H. Retnaningrum & Manunggal K. Wardaya

Abstrak

Salah satu persoalan besar dalam pemidanaan terhadap anak  adalah efek buruk pemidanaan terhadap perkembangan anak. Pemidanaan kerap mendatangkan cap buruk pada seseorang, yang dalam konteks anak, akan amat destruktif terhadap kehidupannya yang masih panjang diharapkan. Penyelesaian non-penal menjadi ide yang mengemuka yang kerap lebih disukai para pihak. Di pihak pelaku, stigmatisasi bisa dihindarkan, sementara pihak korban mendapat kepuasan dengan kompensasi dan atau kesepakatan tertentu dengan pelaku. Alih-alih dipidanakan, pelaku dikembalikan pada orang tuanya, sedangkan korban –misalnya-mendapatkan ganti rugi tertent dan permohonan maaf. Kendati penyelesaian melalui jalur non-litigasi ini tidak selalu disepakati terutama oleh pihak korban, namun penyelesaian seperti ini terbukti banyak dipilih oleh pihak-pihak yang berkonflik. Artikel ini merekomendasikan diproduksinya peraturan perundangan yang memberikan kepastian hukum dalam penyelesaian melalui jalur non-litigasi ini.

Kata Kunci : anak nakal, non-penal

  1. I.     PENDAHULUAN

Setiap anak memerlukan pembinaan dan perlidungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang.  Pembinaan dan perlindungan anak ini tak mengecualikan pelaku tindak pidana anak,  kerap disebut sebagai “anak nakal”. Anak yang melakukan tindak pidana, dalam hal ini sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1  (angka 1)   UU No. 3 tahun 1997  tentang Pengadilan Anak, ialah orang yang telah mencapai 8 tahun tetapi belum mencapai 18 tahun dan belum pernah kawin. Continue reading

 Dimuat di Jurnal MIMBAR HUKUM Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, Vol. 22 No. 1, Februari 2010, hlm. 96-113 

Manunggal K. Wardaya

  1. Latar Belakang

Lebih dari satu dasawarsa reformasi dijalani oleh bangsa Indonesia setidaknya hingga tulisan ini dibuat. Selama kurun waktu tersebut, berbagai perubahan dilakukan  mulai dari perombakan secara mendasar hukum dasar tertulis (written constitution) Undang-undang Dasar 1945 hingga penataan kembali baik infra maupun suprastruktur politik melalui perubahan berbagai piranti hukum yang mengaturnya. Kesemua pembaharuan yang hingga kini masih berjalan secara evolutif didesain secara sadar menuju tercapainya kehidupan bernegara bangsa yang demokratis-berkeadilan sosial. Pengalaman berkonstitusi tanpa internalisasi paham konstitusionalisme yang membawa berbagai opresi dan pengingkaran hak dasar manusia membangkitkan kesadaran pada bangsa ini akan satu hal utama: pentingnya suatu system yang meniscayakan akuntabilitas dan limitasi kekuasaan negara serta jaminan akan penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia. Continue reading