Dimuat dalam Jurnal FORUM HUKUM Fakultas Hukum Universitas Janabadra, Yogyakarta, Volume 11, No. 2, Juli 2007

Abstract 

Unlike some other countries previously faced similar problems in the rising of democracy, Indonesia has failed to utilize the precious moment of transition to reveal the truth of past human rights violations. However, although the moment has gone and the Truth and Reconciliation Act has been annulled by the Constitutional Court, still the truth should be revealed and justice should be given to the victims. One feasible solution to deal with past human rights abuses is by establishing an ad hoc tribunal under Human Rights Court Law. The dilemma with such approach is that it would unlikely satisfying the victim especially if it is carried out in procedural and conventional manners.

 Pendahuluan

Salah satu agenda reformasi yang belum juga terwujud hingga satu dasawarsa reformasi adalah pemberian keadilan bagi korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu. Alih-alih mendapat keadilan serta mendapat kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, para korban berbagai kasus yang diindikasikan sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu seperti extrajudicial killings menyusul peristiwa 19652 terkesan ditelantarkan.3 Berbagai penculikan dan penghilangan paksa yang menimpa sejumlah aktivis4, kerusuhan yang diwarnai dengan pembakaran, penjarahan, dan pemerkosaan di Jakarta dan Solo pada Mei 1998 , serta kasus Talangsari 1989 adalah sejumlah kecil saja kasus yang diduga sebagai gross violation of human rights masa lalu yang belum terungkap siapa yang bertanggungjawab. Padahal pengungkapan pihak yang bersalah dan bertanggung jawab atas pelanggaran HAM masa lalu di masa peralihan menuju demokrasi amat penting dilakukan untuk mencegah impunitas sekaligus pengingat agar peristiwa serupa tak lagi terjadi dalam demokrasi yang mulai dibangun.

 

Tak dimaksudkan untuk membahas apalagi menginventaris secara mendetail berbagai pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia, artikel ini hendak mengkaji apakah Indonesia masih layak untuk dikatakan sebagai masih berada dalam periode transisi. Pada gilirannya nanti hasil kajian dengan sendirinya menentukan saran penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu.

 

Pentingnya Penyelesaian Pelanggaran HAM Masa Lalu

 

Mundurnya Soeharto dari kepresidenan pada Mei 1998 menerbitkan harapan besar akan tercapainya keadilan dan tegaknya hukum sesegera mungkin bagi korban pelanggaran HAM masa lalu. Ekspektasi besar terhadap rejim pengganti (successor regime) yang lebih demokratik menjadi wajar mengingat sistem politik yang represif-autoritarian yang ada pada rezim sebelumnya memustahilkan terwujudnya keadilan bagi korban. Sebagaimana luas diketahui, dunia peradilan Orde Baru begitu terkooptasi oleh eksekutif.5 Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai badan perwakilan yang semestinya menjadi penyampai aspirasi rakyat pada masa lalu tak lebih merupakan kepanjangtanganan kekuasaan karena berbagai macam kooptasi termasuk adanya anggota DPR yang tak dipilih melalui Pemilu.6 Sementara pers yang diharapkan mampu menjalankan fungsi kritik terbelenggu dan terbatasi oleh berbagai produk hukum yang bukannya fasilitatif namun justeru mengekang.7

 

Setidaknya ada empat (4) alasan mengapa penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu sebenarnya amat strategis untuk diselesaikan segera setelah berakhirnya Orde Baru. Pertama, Indonesia berada dalam masa yang sangat penting dan menentukan, ialah masa peralihan/transisi dari periode otoriter ke rezim yang (lebih) demokratik.8 Belajar dari pengalaman serupa di beberapa negara seperti Argentina, Chile, dan South Africa, masa peralihan adalah momen paling tepat untuk membongkar peristiwa pelanggaran HAM masa lalu setelah sebelumnya tidak pernah muncul di permukaan karena berbagai bentuk represi. Di Argentina misalnya, komisi untuk orang hilang yang dinamai Comision Nacional Para La Desaparacion de Personas, CONADEP terbentuk pada 1983 tak lama setelah mundurnya militer dari kekuasaan. Di Chile, komisi kebenaran dan rekonsiliasi terbentuk dengan cepat, hanya dalam tempo 6 minggu setelah dilantiknya Aylwin sebagai presiden.9 Terlepas dari apapun model transitional justice yang nantinya hendak diterapkan, pengalaman di berbagai negara tersebut di atas menunjukkan bahwa pengungkapan kebenaran di masa peralihan memberi ekspektasi bahwa para pelaku dan otak (mastermind) pelanggaran HAM masih dapat diidentifikasi, berbagai bukti yang mendukung pengungkapkan kebenaran masih dapat diinventaris, serta saksi-saksi maupun korban masih mengingat peristiwa dengan baik.

 

Kedua, penyelesaian persoalan pelanggaran HAM masa lalu di masa transisi merupakan misi penting dan strategis untuk menunjukkan komitmen Indonesia pada demokrasi10 sekaligus menghilangkan kesan bahwa Indonesia adalah surga bagi impunitas atau tak terhukum-nya para pelanggar HAM. Pembiaran terhadap para pelanggar HAM di negeri ini untuk meninggalkan korbannya tanpa pertanggungjawaban sangat berlawanan dengan hukum internasional terutama prinsip no save heaven bagi pelanggar HAM berat. Penetapan kesalahan terhadap pelaku pula memiliki makna penting agar doktrin equality before the law yang juga merupakan norma internasional11 (yang oleh karenanya mengikat Indonesia) tidak hanya menjadi sekedar mitos.

 

Ketiga, penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan kemampuan dan kemauan mengungkapkan kebenaran atas peristiwa masa lalu diharapkan dapat memulihkan ketertiban dan kepastian hukum serta prinsip keadilan. Secara legal, hal ini pula telah tertuang dalam perundangan yakni melalui Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional. Dalam ketetapan tersebut tegas dinyatakan:

 

Tegaknya sistem hukum yang didasarkan pada nilai filosofis yang berorientasi pada kebenaran dan keadilan, nilai sosial yang berorientasi pada tata nilai yang berlaku dan bermanfaat bagi masyarakat, serta nilai yuridis yang bertumpu pada ketentuan perundang-undangan yang menjamin ketertiban dan kepastian hukum. Hal itu disertai dengan adanya kemauan dan kemampuan untuk mengungkapkan kebenaran tentang kejadian masa lampau, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan yang berlaku, dan pengakuan terhadap kesalahan yang telah dilakukan, serta pengembangan sikap dan perilaku saling memaafkan dalam rangka rekonsiliasi nasional.12

 

 

 

Keempat, penyelesaian persoalan pelanggaran HAM masa lalu adalah syarat mutlak tercapainya rekonsiliasi nasional. Rekonsiliasi atau perdamaian diharapkan akan mungkin terwujud, jika pelaku yang bertanggungjawab atas timbulnya korban telah diungkapkan dan atau mengakui kesalahannya dan atau telah ditetapkan sebagai pihak yang bersalah dan menjalani hukuman (atau kewajiban lain). Perdamaian juga diharapkan dapat terwujud manakala pihak korban mendapatkan pemulihan baik materiil maupun imateriil atas pelanggaran hak asasi manusia yang dijamin oleh UDHR sebagai hak konstitusional.13 Tanpa adanya pengungkapan kebenaran dan penetapan siapa yang bertanggung jawab dan kewajiban bagi pelaku (apakah untuk menjalani hukuman, meminta maaf dan atau memberi ganti rugi) terciapainya perdamaian dan persahabatan menjadi sukar untuk dibayangkan. 14

 

Masa Peralihan di Indonesia: Masihkah?

 

Kompleksitas pelanggaran HAM masa lalu membuat pengungkapan maupun penyelesaiannya membutuhkan kesungguhan dan komitmen yang tinggi dari rezim pengganti. Dukungan politik yang kuat mutlak dibutuhkan terutama jika penyelesaian yang dipilih adalah pendekatan politis dengan suatu komisi kebenaran. Hal ini karena jika terhadap kasus yang telah lama terjadi hendak diselesaikan semata dengan pendekatan hukum, capaian yang memuaskan akan sukar diharapkan terlebih jika pendekatan hukum yang mengemuka adalah pendekatan yang prosedural sifatnya. Belajar dari pengalaman banyak negara yang pula mengalami transisi ke arah demokratisasi, penyelesaian secara politik diyakini akan memberikan hasil yang memuaskan dibandingkan penyelesaian secara hukum. Kendati tetap ditunjang basis legal terutama berkaitan dengan tugas wewenang institusi penyelidik dan pendamai, pendekatan politis pada masa peralihan dinilai lebih prospektif karena dukungan politik untuk mengungkap keadilan masa lalu pada umumnya masih besar.

 

Dalam konteks Indonesia, pentingnya membangun kembali perdamaian melalui pendekatan komisi kebenaran telah mendapat dasar hukum dengan adanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat yang mengamanatkan pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang menyatakan:

 

Kesadaran dan komitmen yang sungguh-sungguh untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional harus diwujudkan dalam langkah-langkah nyata, berupa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Nasional, serta merumuskan etika berbangsa dan visi Indonesia masa depan.15

 

 

 

Selain itu, Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia juga memberikan kemungkinan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan suatu komisi kebenaran selain dengan pendirian suatu Pengadilan HAM ad hoc16.

 

Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum berlakunya

 

Undang-undang ini tidak menutup kemungkinan penyelesaiannya dilakukan oleh Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.17

 

 

 

Namun demikian keluarnya ketetapan MPR serta UU Pengadilan HAM yang memfasilitasi penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui pendekatan transisional dengan suatu pengadilan HAM ad hoc dan melalui suatu komisi kebenaran dapat dikatakan terlambat. Dikatakan demikian karena kedua dasar hukum itu baru dihasilkan lewat dua tahun setelah runtuhnya rezim Orde Baru yang tak demokratis pada 1998. Sementara itu instrumen legal untuk melaksanakan keadilan transisional dengan pendekatan komisi kebenaran baru dikeluarkan pada tahun 2004 atau sekira enam tahun setelah masa transisi dimulai.18 Padahal dalam kurun 1998 hingga 2004 telah terjadi akselerasi demokrasi yang luarbiasa. Pada 1999 misalnya, Indonesia telah mengadakan pemilihan umum multi partai yang relatif aman dan demokratis. Undang-undang Dasar 1945 yang sentralistik dan teramat condong pada eksekutif dan yang sedari awal perumusannya memang diniatkan sebagai konstitusi sementara mulai diamandemen.

 

Penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan komisi kebenaran semakin lambat dan tak menentu dengan kenyataan bahwa KKR tak juga terbentuk bahkan setelah batas waktu terakhir yang diperintahkan undang-undang yakni 5 April 2005. Keterlambatan ini berpengaruh signifikan bagaimanapun penyelesaian melalui pendekatan transisional dengan sendirinya akan semakin kehilangan momen seiring dengan semakin tumbuh berkembangnya demokrasi di reruntuhan rejim otoriter. Singkatnya, legitimasi pendekatan keadilan transisional akan dipertanyakan manakala masa peralihan itu sendiri sudah berlalu. Sementara berbagai kasus yang diduga sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu seperti Tragedi Semanggi I dan II tidak mendapat dukungan politik DPR sebagai syarat pembentukan Pengadilan HAM ad hoc karena dinilai bukan pelanggaran HAM berat, terhadap berbagai kasus tersebut juga tidak dilakukan penuntutan dengan pendekatan hukum pidana walaupun sebenarnya belum daluwarsa.

 

Pendekatan transitional justice dengan komisi kebenaran dan rekonsiliasi sebagai salah satu alternatif penyelesaian permasalahan pelanggaran HAM masa lalu menemukan kendala yuridis setelah Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK) menyatakan bahwa UU KKR tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara keseluruhan.19 MK berpendapat bahwa UU KKR kontradiktif dengan UUD 1945 karena asas dan tujuan UU KKR tidak mungkin dapat diwujudkan dengan tidak adanya jaminan kepastian hukum.20 MK berpendapat bahwa asas dan tujuan KKR yang terdapat dalam Pasal 2 dan 3 UU KKR tidak mungkin diwujudkan karena tidak adanya jaminan kepastian hukum pada korban pelanggaran HAM, karena kompensasi dan rehabilitasi digantungkan pada ada tidaknya amnesty dimana amnesti adalah hak prerogratif Presiden setelah mendengar pertimbangan DPR. Disamping dinilai tidak memberikan kepastian pada korban, UU KKR juga dinilai tidak memberikan kepastian kepada pelaku, karena sekalipun pelaku telah mengakui kesalahan dan meminta maaf tidak ada jaminan yang tegas bahwa pelaku akan mendapatkan amnesti. Hal ini karena dalam Pasal 29 UU KKR dinyatakan bahwa jika dalam hal keluarga korban tidak memaafkan, maka Komisi Kebenaran dan Rekonsilasi akan memutus pemberian rekomendasi secara mandiri dan objektif.21

 

Pembatalan UU KKR yang kemudian diikuti dengan penghentian seleksi anggota KKR bisa jadi mengecewakan. Namun harus diakui jika ditinjau dari kepentingan korban dan pelaku serta kesesuaiannya dengan norma hak asasi manusia internasional, putusan MK yang membatalkan legislasi yang menjadikan hak konstitusional korban sebagai hal yang conditional sifatnya adalah sudah tepat. Putusan itu telah mengukuhkan bahwa hak korban atas kompensasi, rehabilitasi adalah hak asasi manusia yang tidak bisa disyaratkan dan dialihkan.

 

Dipandang dari hukum perundang-undangan, putusan MK memang tidak menutup kemungkinan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui suatu komisi kebenaran dan rekonsilisasi. Pemerintah bersama DPR masih memiliki kesempatan untuk membentuk suatu legislasi KKR baru yang memenuhi standar internasional hak asasi manusia. Permasalahannya adalah setelah sekian lama tertunda hingga diikuti dengan pembatalan dasar hukum, penyelesaian permasalahan pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan komisi kebenaran mestilah melewati tahapan pembaharuan perundangan yang sudah barang tentu pula semakin menyita waktu dan energi. Manakala momen transisi semakin menyurut kondisi ini menggiring kita pada pertanyaan masih relevankah pendekatan dengan komisi kebenaran diterapkan manakala masa peralihan itu sendiri sudah mulai menghilang?

 

Keadilan transisional atau yang dalam bahasa aslinya adalah transitional justice pada idealnya diselenggarakan manakala terjadi perubahan politik yakni tidak begitu lama atau sesegera mungkin setelah rezim lama (yang korup dan represif) terguling. Ruth G. Teitel memberikan definisi transitional justice sebagai “ …the conception of justice associated with periods of political change, characterized by legal responses to confront the wrongdoings of repressive predecessor regimes22.

 

Dalam khasanah hukum dan hak asasi masih menjadi perdebatan mengenai waktu yang eksak untuk menentukan bahwa masa transisi itu masih ada. Namun belajar dari pengalaman berbagai negara, bisa ditarik beberapa indikator yang dijadikan petunjuk apakah suatu negara masih dalam periode transisi, antaranya adalah jika sistem peradilan yang ada (existing judiciary system) masih warisan lama yang korup dan abusive. Konstitusi yang ada tidak memuat penghormatan, pengakuan dan jaminan perlindungan HAM, namun lebih kepada pembatasan dan justifikasi pelanggaran hak asasi itu sendiri. Selain itu suatu negara dikatakan sebagai berada dalam periode peralihan jika perundangan yang ada-terutama yang bersanksi penal- adalah hukum warisan rezim lama, dan tiada institusi-instutusi demokratik dan mekanisme balances and checks yang sehat seperti yang ada dalam negara demokratik.

 

Bagaimana dengan Indonesia? Bertolak dari indikasi-indikasi di atas, pahit untuk dinyatakan, sebagaimana juga dikemukakan oleh anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Enny Soeprapto, bahwa Indonesia sudah tidak lagi ada dalam periode transisi.23 Merujuk pada beberapa indikator sosial politik sebagaimana disebutkan dalam paragraf di atas dapat dikatakan bahwa Indonesia telah berada dalam situasi yang stabil daripada transisional. Indikator yang paling nyata adalah telah dilakukannya amandemen undang-undang dasar sebanyak empat kali sejak 1999 hingga 200224. Muatan konstitusi yang bertentangan dengan hak asasi manusia telah banyak yang dicabut dan atau bahkan disempurnakan dengan penambahan bab khusus mengenai hak asasi manusia. Indonesia juga telah dua kali melakukan pemilu yang dinilai relatif aman demokratis yakni pada 1999 dan 2004. Demikian pula pemilihan kepala daerah di berbagai provinsi, kabupaten dan kota telah dilaksanakan dengan cukup demokratis tak terkecuali di daerah yang pernah dilanda konflik bersenjata seperti Aceh. Selain itu sejak 1999 sentralisasi kekuasaan selama Orde Baru juga telah dihapus dengan diintroduksinya sistem desentralisasi pemerintahan dalam kerangka otonomi daerah.

 

Berbagai fakta di atas mengindikasikan bahwa penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia masa lalu dengan pendekatan komisi kebenaran di Indonesia secara politis sudah kehilangan ruh-nya karena situasi politik dan moment yang mendukung untuk menyelenggarakannya sudah tak terpenuhi. Kalaupun penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu pendekatan dengan suatu komisi kebenaran hendak juga diterapkan, pendekatan model ini akan menjadi amat rawan untuk dipersoalkan karena dengan mudah dibenturkan dengan tembok tebal prinsip negara hukum yang sedikit banyak bersandarkan pada prinsip kepastian hukum. Alih-alih dapat memberikan keadilan bagi korban, pendekatan melalui suatu komisi kebenaran justeru berpotensi menguntungkan para pelanggar HAM karena akan dengan mudah menghindari tanggung jawab dengan bersembunyi di balik tameng positivisme hukum dan kepastian hukum.

 

Tiadanya Penyelesaian: Kecelakaan Besar

 

Semakin berkembangnya demokrasi serta terbitnya putusan MK yang menyatakan UU KKR sebagai tidak mengikat membuat penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan suatu komisi kebenaran secara politis menjadi tidak lagi relevan. Situasi yang secara umum relatif tertib dan sistem peradilan yang relatif jauh baik justeru berpotensi menghilangkan legitimasi suatu komisi kebenaran jika nantinya pendekatan ini hendak tetap diterapkan. Meski demikian, pelanggaran HAM masa lalu tidak boleh dibiarkan dan dilupakan begitu saja. Selama keadilan tidak ditegakkan penderitaan korban dan atau keluarganya akan semakin larut25 dan semakin tertundanya pengusutan dan pengungkapan pelanggaran HAM masa lalu tentu akan membawa dampak buruk jika tidak sesegera mungkin diambil langkah langkah menuju ke arah penyelesaian yang berpihak pada korban. Bukan tidak mungkin pembunuhan aktivis HAM terkemuka Munir pada akhir 2004 adalah akibat tidak langsung dari nihilnya penuntasan akan penyidikan dan penuntutan pelanggaran HAM masa lalu atas berbagai peristiwa penculikan dan pembunuhan para aktivis26. Demikian juga peristiwa kekerasan terhadap mahasiswa sebagaimana terjadi di Makassar pada 2004 bisa jadi dilakukan karena alam bawah sadar aparat ‘terilhami’ peristiwa Semanggi sebagai hal yang biasa saja, dan bukan merupakan pelanggaran hak fundamental manusia.

 

Pada akhirnya tidak terungkapnya pelanggaran HAM, bebasnya pelaku dari tanggungjawab, serta tidak terwujudnya keadilan untuk para korban dapat menimbulkan krisis kepercayaan terhadap pemerintah dan hukum. Konflik dan dendam akan terpelihara dalam ingatan para korban dan atau keluarganya yang bisa meledak kelak di kemudian hari dalam bentuk konflik lain baik yang vertikal maupun horizontal. Negara tidak lagi dianggap mampu memberi keadilan bagi warganya, para pencari keadilan atas pelanggaran HAM. Sebaliknya negara berikut instrumen hukum dan aparatus yang menopangnya akan semakin dianggap dan dirasakan sebagai instrumen kekuasaan dan penindas mereka yang lemah sebagaimana dikini mazhab hukum Marxian.

 

Langkah-Langkah Yang Dapat Dilakukan

 

Tak pelak, kegagalan untuk menyelesaikan masalah pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan komisi kebenaran menggiring Indonesia untuk menyelesaikan permasalahan pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan hukum. Dalam situasi sosial politik yang telah stabil dan demokratis, penyelesaian dengan cara hukum akan lebih dapat diterima untuk diterapkan kendati mengandung kelemahan mendasar manakala dihadapkan pada masalah teknis-yuridis seperti forensic truth. Berbagai bukti dan atau saksi dapat dikatakan telah banyak yang hilang, musnah atau meninggal dunia sehingga akan menimbulkan kesukaran terutama dalam pembuktian. Lepas dari segala kelemahan yang ada, apa boleh buat penyelesaian secara yuridis adalah penyelesaian terakhir yang dapat ditempuh Indonesia setelah masa transisi terlewat begitu saja.

 

Sebagaimana halnya penyelesaian melalui komisi kebenaran, penyelesaian permasalahan pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan hukum pertama-tama menuntut kemauan dan keberanian politik yang kuat dari pemerintah, sebagai cabang kekuasaan negara yang memiliki kewenangan melakukan penuntutan. Legitimasi dari rakyat adalah modal yang harus dimanfaatkan terutama oleh rezim yang sekarang berkuasa untuk terus mengadakan penyelidikan dan tindakan tindakan penyelesaian lain.

 

Adapun langkah hukum yang dapat ditempuh adalah dengan mendayagunakan mekanisme Pengadilan HAM ad hoc. Sebagaimana tegas ditentukan oleh UU Pengadilan HAM, pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU tersebut akan dilakukan oleh Pengadilan HAM ad hoc. Namun patut diingat bahwa penyelesaian ini bagaimanapun juga mensyaratkan dukungan politik yang kuat dari DPR karena UU Pengadilan HAM menentukan bahwa pengadilan HAM ad hoc hanya dapat diadakan jika ada usul dari DPR27. Dari titik ini dapat disimpulkan bahwa ada tidaknya pengadilan HAM ad hoc untuk menyelesaikan pelanggaran HAM masa lalu sangat tergantung dari konstelasi politik di DPR. Kepekaan DPR dalam mewujudkan keadilan bagi korban oleh karenanya menjadi hal yang mutlak dalam pendirian pengadilan HAM ad hoc, disamping harus dan perlu pula didorong oleh elemen demokrasi lainnya seperti pers dan kelompok-kelompok penekan (pressure groups). Di sini para korban dan advokat hak asasi manusia dituntut untuk berperan dengan secara intens melakukan pengawasan dan jika dirasa perlu melakukan tekanan-tekanan pada DPR agar keputusan yang berpihak pada korban bisa tercipta. Jika parlemen dikuasai oleh unsur masa lalu dan berjalan tanpa pengawasan, maka terbentuknya Pengadilan HAM ad hoc sebagai jalan penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu menjadi sukar diharapkan.

 

Kalaupun pengadilan HAM ad hoc atas suatu kasus pelanggaran HAM berat diusulkan oleh DPR, tetap saja penyelesaian secara yuridis membutuhkan paradigma yang tidak kaku dalam menemukan keadilan. Aparat penegak hukum mestilah memiliki kepekaan atas keadilan dan tidak semata berpijak pada kebenaran-kebenaran yang prosedural-formal namun lebih kepada kebenaran yang substansial yang berpihak pada korban. Hakim dan Jaksa juga harus pandai menyerap berbagai norma hukum hak asasi manusia internasional baik yang berupa keputusan hakim, kebiasaan, maupun doktrin yang telah diterima dan diterapkan sebagai standar dalam penuntutan kasus pelanggaran HAM berat dan tidak terikat pada berbagai definisi dan konsep yang lebih bernuansa hukum yang tidak erxtraordinary. Hal ini penting dan perlu ditegaskan karena Undang-undang Pengadilan HAM kuat diduga memang dirancang untuk mengandung banyak kelemahan serta banyak melenceng dari ketentuan internasional mengenai pengadilan HAM yakni Statuta Roma.28 Terobosan-terobosan hukum perlu dibuat dan dilakukan karena mustahil memberikan keadilan dalam kasus yang telah lama terkubur jika berpatokan pada prinsip-prinsip konvensional. Semua pihak yang terlibat apakah itu Komnas HAM, Jaksa Agung, dan Hakim harus mampu menegakkan hukum yang merefleksi rasa keadilan masyarakat sehingga apa yang menjadi hak konstitusional korban dapat segera terwujud.

 

Untuk menunjang penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu dengan pendekatan pengadilan HAM ad hoc, Majelis Permusyawaratan Rakyat perlu mencabut Ketetapan MPR No. V/MPR/2000 mengenai Pemantapan Persatuan Nasional sepanjang mengenai pembentukan KKR karena tidak relevan lagi. Hal ini untuk mencegah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) KKR sehubungan dengan telah dinyatakan tidak mengikatnya UU tersebut.29 Meski langkah ini barangkali tidak populer namun langkah ini penting dilakukan karena bukan tidak mungkin Presiden akan mengeluarkan Perpu KKR guna memenuhi Ketetapan MPR tersebut. Memperhatikan realitas politik yang ada, dikhawatirkan Perpu KKR yang akan dihasilkan bukan semata-mata dikeluarkan untuk menyelesaikan permasalahan, namun justeru untuk mengulur waktu (buying time). Langkah-langkah yuridis di atas membutuhkan keberanian politik yang tinggi karena pada satu sisi transitional justice dengan suatu komisi kebenaran sudah tidak mungkin lagi dilaksanakan, namun di sisi lain ada ekspektasi yang besar dari masyarakat akan tercapainya keadilan bagi para korban. Dukungan politik yang kuat juga penting karena keputusan MPR sangat tergantung dari konstelasi politik di parlemen, mengingat menurut UUD 1945 komposisi MPR sangat dominan ditentukan oleh DPR.

 

Pendekatan hukum pidana biasa juga dapat diterapkan dalam penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu yang tidak dikategorikan sebagai pelanggaran HAM berat. Namun demikian, hal ini hanya terbatas pada kasus yang belum dinyatakan sebagai daluwarsa menurut hukum pidana nasional, yakni belum lewat 20 tahun.

 

Simpulan

 

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa era transisi di indonesia telah terlewatkan. Berbagai instrumen hukum yang menunjang penyelesaian pelanggaran HAM masa lalu melalui sebuah komisi kebenaran yang lebih bernuansa politis ternyata tidak ditunjang dengan dukungan kemauan politik yang kuat dari pemerintah dan bahkan ada kesan dilemahkan. Pada gilirannya situasi yang semakin relatif lebih baik dan jauh lebih demokratis membuat justifikasi dan legitimasi penyelesaian secara politik menjadi hilang.

 

Penyelesaian dengan menggunakan pendekatan hukum oleh karenanya menjadi pilihan paling realistik yang dapat ditempuh jika Indonesia memang masih berkomitmen terhadap cita-cita negara hukum. Kendati mengandung kelemahan khususnya jika dikaitkan dengan permasalahan teknis yuridis, pendekatan hukum melalui pengadilan HAM ad hoc dan melalui pendekatan pidana masih memberikan harapan jika semua pihak berkomitmen untuk mendayagunakan hukum tidak saja dengan cara-cara konvensional-prosedural, namun lebih kepada hukum yang progresif dan responsif yang didedikasikan untuk memberikan keadilan substansial bagi korban.

 

 

 

 

 

 

 

DAFTAR RUJUKAN

 

 

 

Artikel, Buku

 

————————–, ‘Ketua Komnas HAM: Pelanggaran Masa Lalu Ditelantarkan’, Kompas, 2 Mei 2005 hal. 6

 

————————–, ‘KKR Sudah Kehilangan Momentum’, Kompas, 4 November 2006

 

————————–, ‘Koran Penculikan Menuntut’, Kompas, 17 Maret 2005

 

————————–, ‘MK Batalkan UU KKR, Cermin Buruknya Legislasi DPR’, Kompas 8 Desember 2006

 

————————–, ‘Seleksi Anggota KKR Dihentikan’ Kompas 19 Desember 2006

 

————————–, ‘Tujuh Tahun Tidak Ada Kepastian Soal Penculikan Komnas HAM Janjikan Pertengahan Mei 2005’, Kompas, 26 Maret 2005

 

————————–, ‘UU KKR Bertentangan dengan UUD 1945’, Konstitusi No. 18 Januari- Februari 2007

 

    Arinanto, Satya, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003)

Cribb, Robert, The Indonesian Killings: Studies from Java and Bali (Clayton: Centre For South East Asia Studies Monash University, 1990)

 

Fernando, Basil, ‘Democratization: Transitions and conflicts in Asia and the Pacific’ dalam Asian Human Rights Commission, Protection and Participation: Human Rights Approach (Hong Kong: AHRC & ALRC Publication, 2003)

 

Kritz, Neil, ‘The Dillemas of Transitional Justice’ dalam United States Institutie of Peace,< http://usip.org/ruleoflaw/pubs/tjintro.html.&gt; diakses pada 16 Juli 2007

 

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, ‘Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Pengalaman beberapa Negara’ <www.elsam.org> diakses pada 7 Januari 2007

 

Lichtenfeld, Rebecca, ‘Accountability in Argentina: 20 Years Later Transitional Justice Maintains Momentum’ (New York: International Centre for Transitional Justice, 2005)

 

Mugiyanto, ‘Kejelasan Nasib Korban Penghilangan Paksa’ Kompas 28 November 2006

 

Sulistiyo, Hermawan, Palu Arit di Ladang Tebu: Sejarah Pembantaian Masal yang Terlupakan (Jombang –Kediri 1965-1966) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000)

 

Teitel, Ruti G., Transitional Justice Genealogy, Harvard Human Rights Journal Vol. 16

 

Toer, Pramoedya A., Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (Jakarta: Penerbit Lentera, 1995)

 

Wardaya, Manunggal K., Justice For The Victims: The Importance to Reveal The 1965-1966 Massacres in the Transitional Period in Indonesia, (Clayton: paper tidak diterbitkan, 2004)

 

Wignjosoebroto, Soetandyo, Toleransi dalam Keragaman: Visi untuk Abad ke-21, Kumpulan Tulisan Tentang Hak Asasi Manusia (Surabaya: Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya & The Asia Foundation, 2003)

 

Wiranata, Agung Y., ‘Pengadilan HAM Indonesia: Prosedur dan Praktek’, Makalah Pelatihan HAM bagi Dosen HAM, (Yogyakarta: Pusham UII & NCHR, 2005)

 

 

Perundangan

 

 

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No. I/MPR/2000 tentang Sikap Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia terhadap Maklumat Presiden Republik Indonesia tanggal 23 Juli 2001

 

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat No.V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan Nasional

 

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara No. XXV/MPR-S/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau mengembangkan Paham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme

 

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi Terhadap Korban Pelanggaran HAM berat

 

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi dalam Pelanggaran HAM Berat

 

Undang-undang No. 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya

 

Undang-undang No. 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan Konvensi Internasional Hak-hak Sipil dan Politik

 

Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

 

Undang-undang No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi

 

Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

 

 

 

 

 

1 Dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto, S-1 diselesaikan pada FH UNSOED (1998), Master of Laws (LL.M) di bidang International & Comparative Law diselesaikan pada Monash University Law School, Melbourne Australia (2005).

 

2 Mengenai hal ini bacalah antara lain Robert Cribb (ed), The Indonesian Killings 1965-1966: Studies from Java and Bali (Clayton: Centre of South East Asia Studies Monash University, 1990), Hermawan Sulistiyo, Palu Arit di Ladang Tebu : Sejarah Pembantaian Masal yang Terlupakan (Jombang-Kediri 1965-1966) (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2000). Lihat pula Manunggal K. Wardaya, Justice for The Victims: The Importance to Reveal the 1965-1966 Massacres in the Transitional Period in Indonesia, (Clayton: paper tidak diterbitkan, 2004). Gambaran penahanan tanpa peradilan para tahanan politik PKI di Pulau Buru dituliskan secara bagus dilengkapi dengan data-data korban oleh Pramoedya A. Toer dalam buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (Jakarta: Penerbit Lentera, 1995).

 

3 Lihat ‘Ketua Komnas HAM: Pelanggaran HAM Masa Lalu Ditelantarkan’, artikel dalam Kompas 2 Mei 2005 hlm 6.

 

4 Lihat ‘Korban Penculikan Menuntut’, artikel dalam Kompas 17 Maret 2005 hlm 7. Data Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebutkan mereka yang diculik pada 1997/1998 berjumlah 23 orang. 9 orang telah dibebaskan, 1 ditemukan meninggal dan 13 orang lainnya hingga kini dinyatakan hilang. Beberapa pendapat menyatakan bahwa penculikan aktivis terkhusus yang masih belum ada kepastian keberadaannya sebagai perbuatan berlanjut yang seharusnya segera diselesaikan dengan Pengadilan HAM berdasar Undang-undang No. 26 tahun 2006 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Lihat Mugiyanto, ‘Kejelasan Nasib Korban Penghilangan Paksa’, artikel dalam Kompas, 28 November 2006, hlm 6.

 

5 Hakim-hakim di masa Orde Baru tidak bisa menjalankan fungsinya dengan merdeka, karena walaupun secara profesi berada di bawah kendali Mahkamah Agung namun secara administrasi berada di bawah Departemen Kehakiman, yang dikepalai oleh seorang menteri yang bertanggungjawab pada Presiden.

 

6 Pada awal kekuasaannya, rezim Orde Baru merampingkan puluhan partai politik yang ada di Indonesia untuk melebur (apa yang dikenal dengan fusi partai) menjadi 2 (dua) partai politik yakni Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Indonesia dan 1 (satu) Golongan Karya. Partai politik kala itu tidak pernah mandiri, karena campurtangan yang begitu mendalam oleh pemerintah. Praktis hanya Golkar yang memenangi berbagai pemilu sepanjang sejarah Orde Baru.

 

7 Walaupun Undang-undang Pers menjamin tiadanya breidel, namun dengan suatu keputusan Menteri Penerangan media massa bisa dicabut izin usaha penerbitannya sebagaimana yang dialami tiga media penting TEMPO, EDITOR, dan DETIK.

 

8 Basil Fernando dari Asian Human Rights Commission mendefinisikan demokratisasi sebagai “ a process whereby people engage in constructing a state for their own benefit with social equality as its core principle, working through an elected government operating under the rule of law, supported by functioning institutions subject to a constitutional framework incorporating international norms and standards as set out in United Nations’ human rights treaties and covenants”. Lihat Basil Fernando, ‘Democratization: Transitions and conflicts in Asia and the Pacific’ dalam Protection and Participation: Human Rights Approach (Hong Kong: Asian Human Rights Centre, 2003), hlm 19.

 

9 Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), ‘Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi: Pengalaman Berbagai Negara’, <www.elsam.org> diakses pada 4 Januari 2007.

 

10 Lihat Satya Arinanto, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik Indonesia (Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara Universitas Indonesia, 2003), hlm 280.

 

11 Doktrin ini terdapat dalam Pasal 7 the Universal Declaration of Human Rights yang menegaskan “All are equal before the law and are entitled without any discrimination to equal protection of the law. All are entitled equal protection against any discrimination in violation of this Declaration and against any incitement to such discrimination.” Dengan diterimanya UDHR oleh hampir seluruh negara di dunia, para sarjana mengkategorikan UDHR (yang kerap disebut sebagai deklarasi moral saja dan tak berkekuatan hukum) menjadi customary international law.

 

12 Lihat Pendahuluan Tap MPR No.V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Nasional, bagian Pendahuluan Bab III butir IV.

 

13 Pasal 8 UDHR menegaskan “Everyone has the right to effective remedy by the competent national tribunals for act violating fundamental human rights granted by him by the constitution or by law.”

 

14 Meski demikian, ada pula pendapat yang menyangsikan bahwa dengan diungkapkannya kebenaran akan selalu membawa kepada rekonsiliasi. Sebaliknya, “kedamaian yang ada” bisa jadi terusik dan timbul konflik baru diakibatkan oleh penolakan akan kebenaran yang telah lama mengendap di keyakinan kolektif masyarakat. Hal ini karena bagaimanapun rezim lama yang terbilang korup pastilah memiliki pendukung dan pembela dan berpotensi untuk menentang segala macam kebenaran yang telah diyakini. Mengenai hal ini bacalah Neil Kritz, ‘The Dillemas of Transitional Justice’ dalam United States Institutie of Peace,< http://usip.org/ruleoflaw/pubs/tjintro.html.&gt; diakses pada 16 Juli 2007.

 

15 Ketetapan Majelis Permusyarawatan Rakyat No V/MPR/200 pada bagian Pembukaan paragraf ke-10.

 

16 Pasal 43 ayat (1).

 

17 Pasal 47 ayat (1).

 

18 Undang-undang itu ialah UU No. 27 Tahun 2004 tentang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi.

 

19 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 006/PUU-IV/2006.

 

20 Lihat ‘MK Batalkan UU KKR, Cermin Buruknya Legislasi DPR’, artikel dalam Kompas, 8 Desember 2006, hlm 1. International Centre for Transitional Justice (ICTJ) menyoroti UU KKR sangat bertentangan dengan prinsip hukum Internasional. Prinsip-prinsip yang dilanggar oleh UU KKR misalnya adalah pemberian kompensasi yang disyaratkan dengan adanya amnesti (bagi pelaku) yang melanggar Pasal 6 (1) ICCPR. Lihat International Centre for Transitional Justice, Pernyataan Tertulis ICJT: Keabsahan dari Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, July 2006. Sementara itu Drs Arukat Djaswadi dkk yang mengajukan uji materiil terhadap UU KKR menitikberatkan keberatannya pada UU KKR yang dinilai cacat hukum karena tidak mencantumkan Pancasila dalam konsideran Menimbang dan Mengingat.

 

21 Lihat ‘UU KKR Bertentangan dengan UUD 1945’ dalam Konstitusi No. 18 Januari-Februari 2007, hal. 10-11.

 

22 Ruti G. Teitel, Transitional Justice Genealogy, artikel dalam Harvard Human Rights Journal Vol.16, hlm 69.

 

23 Lihat ‘KKR Sudah Kehilangan Momentum’, artikel dalam Kompas, 4 November 2006, hlm 5.

 

24 Pada 2007 bahkan mengemuka wacana untuk melakukan perubahan kelima UUD 1945.

 

25 Pada 24 Maret 2005 misalnya, korban dan keluarga korban dalam kasus penghilangan orang secara paksa pada kerusuhan Mei 1998 yang tergabung dalam Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (IKOHI) mendatangi Komnas HAM. Mereka yang kebanyakan adalah ibu-ibu dan isteri korban yang diculik yang hingga kini tak jelas keberadaannya. Lihat ‘Tujuh Tahun Tidak Ada Kepastian Soal Penculikan Komnas HAM Janjikan Pertengahan Mei 2005’, artikel dalam Kompas 26 Maret 2005, hlm 7.

 

26 Pembunuhan Munir juga sering dikaitkan dengan upaya Munir untuk mengusut pelanggaran HAM masa lalu. Ironisnya hingga 7 (tujuh) bulan setelah kematiannya, teka-teki tentang siapa pelaku utama di balik pembunuhan Munir masih menjadi misteri. Di luar Indonesia hal serupa pernah menimpa Bishop Jose Juan Gerardi , koordinator REHMI –semacam komisi kebenaran – di Guatemala yang dibunuh oleh pihak-pihak yang tak ingin kebenaran terungkap.

 

27 Lihat Pasal 43 ayat (2) Undang-undang Pengadilan HAM.

 

28 Analisa kritis mengenai Pengadilan HAM Indonesia dapat dibaca dalam Agung Yudha Wiranata, ‘Pengadilan HAM Indonesia; Prosedur dan Praktek’, Pusham UII & NCHR, makalah training Hukum HAM Bagi Dosen Pengajar Hukum dan HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia (Yogyakarta: Pusham UII & NCHR, 2005).

 

29 Secara implisit Menteri Sekretaris Negara Yusril I. Mahendra menyatakan bahwa Tap MPR tentang Persatuan Nasional yang mengamanatkan pembentukan KKR tidak perlu dicabut karena ketetapan majelis tersebut telah selesai dengan dikeluarkannya UU KKR. Lihat ‘Seleksi KKR Dihentikan’, artikel dalam Kompas Selasa 19 Desember 2006 hlm 3.